This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 19 April 2015

Teknologi Common Rail Isuzu, Tenaga Naik Emisi Berkurang


Penulis : OTO-Sano | Foto : SANO
Jakarta - Setelah hadir lebih dari 40 tahun di Tanah Air membawa kendaraan mesin diesel, kini Isuzu memperkuat keberadaanya dengan membawa teknologi mesin terbarunya. 

“Sebenarnya common rail sudah cukup lama diterapkan di Isuzu Jepang, tetapi di Indonesia masih baru karena keterbatasan kualitas Solar,” jelas Maman Fathurrohman, Marketing Communication Departement Head PT Isuzu Astra Motor Indonesia.

Prinsipnya, teknologi ini menggunakan tekanan tinggi pada semprotan bahan bakar, yang kemudian disalurkan ke seluruh injektor secara merata melalui rel pipa yang disebut common rail. Tujuannya, semoga seluruh bahan bakar yang masuk dikabutkan hingga terbakar sempurna.

Pada mesin diesel konvensional, tekanan yang digunakan pada injektornya ‘hanya’ sekitar 40 bar, sedangkan common rail bisa menahan lebih dari 1.000 bar. Selain telah diterapkan pada SUV terbarunya, Isuzu Mu-X, pabrikan dengan jargon ‘Otot Indonesia’ ini juga mulai mendistribusikan truk dengan mesin common rail, yaitu Giga. 

Lalu, apa saja sih kelebihannya? • (otomotifnet.com)

TENAGA
Penggunaan tekanan yang lebih tinggi, membantu penyemprotan bahan bakar pada injektor dengan kepresisian yang lebih baik juga. Pada mesin diesel, hal tersebut membantu meningkatkan output tenaga kendaraan.

Contoh saja Isuzu Panther yang belum menggunakan teknologi common rail, output maksimumnya hanya 79 dk meskipun sudah menggunakan turbocharger. Sedangkan pada Mu-X, yang mesinnya sama-sama berkapasitas 2,5 liter, tetapi output-nya mencapai 134 dk.



TEKANAN

“Pada mesin common rail yang digunakan Isuzu di Indonesia, biasanya tekanannya dibatasi hingga 1.250 bar, kalau di Jepang sudah lebih dari 3.000 bar,” terang Reiner Tandiono, Departement Head Isuzu Training Center Indonesia. Penggunaan tekanan yang lebih rendah ternyata diklain karena kualitas solar di Indonesia yang masih kurang baik, sehingga ditakutkan akan merusak ujung injektor.

“Gumpalan kerak karbon pada Solar yang berkualitas buruk dapat merusak tip injektor, karena memaksakan kotoran padat melewati lubang yang sangat kecil. Di Isuzu, cara mengatasinya adalah dengan menurunkan tekanan common rail dan melapisi ujung injektor dengan bahan DLC (Diamond-Like-Carbon),” lanjut Reiner.



EMISI

Tuntutan emisi gas buang yang lebih bersih membuat pabrikan perlu memperbaiki teknologi mesinnya hingga bisa mengikuti standar yang telah ditentukan.

“Dengan teknologi common rail, di Jepang kita sudah bisa membuat mesin diesel hingga mengikuti peraturan emisi Euro IV, sedangkan di Indonesia tekanannya diturunkan karena hanya perlu memenuhi Euro II,” tambah pembicara di event Isuzu Diesel Training Day (12/3) tersebut.

Pada standar Euro II untuk kendaraan berpenumpang bermesin diesel, jumlah NOx (Nitrogen oksida) dan HC (Hidrokarbon) wajib lebih kecil dari 0,7 g/km dan CO (Karbon monoksida) 1 g/km. Sedangkan pada Euro IV, jumlah NOx dan HC harus ditekan hingga 0,3 g/km dan CO lebih kecil dari 0,5 g/km.



PERAWATAN

Meskipun teknologi sudah jauh lebih canggih dibanding mesin diesel konvensional, tetapi perawatannya diklaim lebih sederhana.

Berbeda dengan injektor diesel konvensional yang membutuhkan kalibrasi setelah pemakaian beberapa lama, injektor common rail tidak membutuhkannya, karena semua sudah diatur dari ECM (Engine Control Module).

“Injektornya tidak perlu dikalibrasi, hanya perlu dibersihkan dengan menuang cairan injector cleaner ke tangki bahan bakar jika mulai terasa mampet. Indikasi awalnya akan terasa bergetar karena mesinnya pincang,” tambah Reiner.

Sayangnya jika kotoran dari Solar sampai tidak dapat dibersihkan, mau tak mau injektornya perlu diganti dan pasti harus merogoh kocek cukup dalam. Untuk mencegahnya, Isuzu menyarankan untuk memasang filter Solar tambahan dan menggantinya saban 20 ribu km.

Engine Swap Honda Brio Satya, Lima Hal Demi 118 dk


Penulis : OTO-Hardy | Foto : OTO-Hardy
Jakarta - Kendaraan Honda terbilang favorit untuk dioprek, tak terkecuali Brio Satya. Terlebih, hatchback mungil ini masuk kategori LCGC dan memiliki harga jual yang relatif terjangkau. Maka dari itu, banyak dijadikan bahan untuk modifikasi.

Namun mengusung mesin berkapasitas 1.200 cc dirasa kurang buat penggemar kecepatan. Tren yang cukup marak yakni melakukan engine swap, dari mesin asli berkode L12B8 menjadi L15A7, alias mencomot mesin Jazz GE8 secara utuh. Biaya yang dibutuhkan berkisar Rp 20 juta, di luar modifikasi seperti porting polished, down pipe dan piggyback.

Hasilnya, tenaga bisa terdongkrak mencapai 118 dk dari standarnya yang hanya 88 dk. Enaknya, prosesnya tidak terlalu rumit, akan tetapi ada 5 faktor penting yang harus diperhatikan jika mesin Jazz GE8 mau hidup normal di bodi Brio Satya. •(otomotifnet.com)



Position Sensor dan Crankshaft Trigger

Kedua barang ini tidak bisa dipisahkan. Maksudnya harus klop supaya sinkron. Dikarenakan ECU masih menggunakan keluaran Bosch bawaan Brio Satya, maka crank sensor dan crank trigger juga wajib menggunakan bawaan L12B8. Jika kedua barang ini tidak pindah, maka dijamin mesin tidak mau hidup saat di-starter.

Secara fisik dan produsen crank sensor Brio Satya dan Jazz GE8 tidak berbeda, hanya saja kode part number berbeda. Lain lagi dengan crank trigger, antara kedua mesin tersebut terdapat perbedaan signifikan, yaitu jumlah giginya. Milik Brio Satya mempunyai jumlah gigi yang lebih sedikit dibanding Jazz GE8.

“Jumlah persisnya tidak sempat menghitung, namun terlihat jelas perbedaan keduanya jika sudah dibongkar. Jarak antar-gigi punya L12B8 lebih jarang-jarang. Sedangkan L15A7 lebih rapat,” ujar Memed Firdaus, mekanik TS Kustom Garage di wilayah Meruya, Jakbar.



Piggyback

Walau masih bisa hidup normal dengan ECU standar Brio Satya, disarankan menggunakan piggyback atau stand alone ECU. Sebab, kapasitas mesin sudah naik 300 cc. Otomatis mapping fuel dan ignition dari pabrikan tidak sesuai dengan kondisi mesin yang baru. Apalagi jika mesin L15A7 sudah dimodifikasi.

Sayangnya, jika memilih opsi piggyback ada satu kekurangan. Sampai saat ini belum ada piggyback yang mampu membuka ataupun menggeser rev limiter. “Kalau memang berniat menggeser rev limit sampai 8.000 rpm misalnya, harus menggunakan stand alone ECU seperti Haltech, MoTeC, MegaSquirt dan lain-lain,” sebut Antoni, punggawa Under Control, kepala proyek tim Lupromax Brio Satya di balap super turing. 



Camsshaft Position Sensor dan Camshaft Position Actuator

Barang-barang ini juga mutlak dipindahkan. Maksudnya walaupun menggunakan mesin L15A7, namun sensor beserta actuator-nya wajib pakai Brio Satya. Jika hanya sensornya saja yang dipindahkan, bukan hanya tanda MIL (Malfunction Indicator Light) akan muncul di instrument cluster, mesin juga susah dihidupkan. “Kira-kira di-starter selama 5 detik baru bisa hidup,” sebut Memed lagi.



MAP Sensor

Kalau barang ini jelas terlihat perbedaan. Pertama paling terlihat jelas tentunya dimensi. Milik Brio Satya lebih besar dibandingkan Jazz GE8. Kedua bisa dilihat dari merek produsen. Untuk Honda LCGC menggunakan keluaran Bosch, sedangkan L15A7 tidak terdapat merek vendor pembuat. 

Hanya tertulis MAP sensor assy disertai part number. MAP sensor harus menggunakan buatan Bosch pada mesin iVTEC 1.500 cc. Pemasangan tentunya butuh penyesuaian pada intake manifold dikarenakan bentuknya yang berbeda.

“Tidak telalu rumit kok, cukup membesarkan lubang dudukan MAP sensor dengan mata bor 14 mm,” jelas Nathan Cahyana, pemilik Brio Satya yang baru saja selesai melakukan engine swap. Langkah kedua butuh ketelitian dan kesabaran. Dudukan tersebut harus dikikir kurang lebih 0,7 mm supaya lebih pendek, karena jika tidak, hasil bacaan udara pada intake manifold bisa tidak akurat.


Throttle body

Throttle body mau tidak mau harus pakai kepunyaan Brio Satya. Memang ukuran lebih kecil dibanding kepunyaan Jazz GE8. Walau mesin dapat hidup, tapi terkadang tidak mau digas jika menggunakan bawaan L15A7, tanda MIL juga menyala.

Setelah dilakukan diagnosa dengan engine scanner, terbaca throttle actuator not learned. Artinya, ECU keluaran Bosch tidak bisa sinkron dengan motor penggerak skep pada throttle body Jazz GE8.

“Hal ini disebabkan sistem rev limiter L12B8 menganut model throttle close. Berbeda dengan kendaraan pada umumnya yang menganut model fuel cut atau ignition cut,” terang Indra Wijaya, tuner Sigma Speed di bilangan Pancoran, Jaksel.